Artikel
Tidak Masalahkan Satu Meja dengan Anak Inklusi???
(Aksebilitas Pendidikan Inklusi)
Inklusi education? Pendidikan
berkebutuhan khusus. Bagaimana dengan yang tidak inklusi? Tidak masalahkah
mereka bersama dalam satu meja? Mengapa kita perlu menyenggarakan pendidikan
inklusi? Penulis mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut.
Perbedaan
terkadang membuat kebanyakan orang menjadi asing satu sama lain dan menjadikan
hubungan keduanya renggang. Apalagi perbedaan anak berkebutuhan khusus (ABK)
dengan anak yang normal. Anak yang normal jarang sekali mau berteman dengan ABK
bahkan dijadikan bahan olokan atau ejekan. Orang tua anak normal terkadang juga
memberi larangan kepada anaknya agar tidak berteman dengan ABK.
Ajaran Islam mewajibkan
setiap umatnya untuk menuntut ilmu baik itu laki-laki ataupun perempuan,
anak-anak ataupun dewasa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw yang artinya:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”(Muttafaqqun alaih). Selain itu, menurut
pandangan Kementrian Pendidikan Nasional pendidikan inklusi adalah hak azasi
manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah semua anak
mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan dengan
kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.
Kementrian Pendidikan
Nasional Republik Indonesia mengeluarkan program dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif, pasal 6 yang menyatakan bahwa;
1)
Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya
pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik;
2)
Pemerintah
kabupaten/kota menjamin tersedianya sumberdaya pendidikan inklusif pada satuan
pendidikan inklusif;
3)
Pemerintah dan
pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.
Pendidikan
inklusif dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan umum, kejuruan, keagamaan
dan/atau satuan pendidikan khusus pada semua jenis dan jenjang pendidikan baik
pada jalur formal maupun non formal; Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses bagi
peserta didik; 3) Setiap sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memprioritaskan penerimaan peserta pendidik
yang berkebutuhan khusus yang bertempat tinggal berdekatan dengan sekolah yang
bersangkutan.
Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atas akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Bagi
anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus, disediakan dukungan yang
berkesinambungan. Mulai dari bantuan minimal dikelas reguler, hingga program
pelajaran disekolah. Untuk layanan ketrampilan khusus, perlu staf pendukung
eksternal, antara lain: speach therapist, dokter spesialis,
okupasional therapist, fisiotherapist, dan profesi lain yang terkait
(Tarmansyah, 2007: 155).
Contoh
dari prioritas pendidikan inklusi
ada di Provinsi Anhui di Cina. Karena kebijakan pemerintahnya yang memfasilitasi pendidikan inklusi.
Anhui adalah satu provinsi
yang miskin dengan penduduk 56 juta orang, dan untuk mencapai pendidikan untuk
semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu diinklusikan.
Pendidikan
usia dini sudah diprioritaskan dan sistem pendidikan taman kanak-kanak
berkembang dengan pesat, dan banyak di antaranya mempunyai lebih dari seribu
orang siswa. Program perintis yang difokuskan pada reformasi pendidikan merupakan
sistem yang sangat formal.
Anak-anak usia tiga tahun sudah
diajarkan untuk duduk rapi, dan sering kali jam pelajarannya panjang.
Pada
awal tahun 1990-an, Laos mengalami reformasi sistem pendidikannya dengan
memperkenalkan metode pengajaran yang aktif dan terfokus pada diri anak untuk
meningkatkan kualitas tetapi biayanya tetap rendah, dalam upayanya untuk
mendidik semua anak. “Laos tidak memiliki sekolah khusus untuk anak penyandang
cacat yang merupakan keuntungan yang sangat besar bagi Kementrian Pendidikan
karena dengan demikian dapat membangun sistem yang menjangkau semua anak.”
Pengalaman
program
pendidikan inklusi di Laos telah menunjukkan bahwa dengan perencanaan yang
seksama, implementasi, monitoring dan dukungan yang tepat, dan dengan
menggunakan semua sumber yang ada, dua tujuan sekaligus, yaitu meningkatkan
kualitas pendidikan untuk semua dan mengintegrasikan anak penyandang cacat,
dapat berjalan selaras. Hal
demikian juga patut ditiru dan dilaksanakan di Indonesia.
BIODATA
Nama : Fitriah,
S.Pd
Profesi : Guru
SDIT Ihsanul Amal, Alabio, Kab. HSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar