Artikel
Menumbuhkan Ruh Pendidikan Karakter
Pendidikan
diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Sebuah
peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak
pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral
(akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa
membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Salah satu
kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orang tua kepada anak-anak kita.
Nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan
membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi
terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.
Indonesia saat
ini sedang menghadapi masalah berat yang harus dilalui, yaitu terjadinya krisis
multidimensi yang berkepanjangan. Masalah ini sebetulnya mengakar pada
menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN,
konflik, (antar etnis, agama, politisi, remaja, antar RW, dsb) meningkatnya
kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya-budaya tersebut
adalah penyebab utama Negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.
Menurunnya
kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di
kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah
dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan
membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter
diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu –seperti rasa
hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil– dan membantu siswa untuk
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
mereka sendiri.
Kenyataan
tentang problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya
penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan kita sebagai orang yang beragama
Islam terkait dengan problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat
dilihat dari kasus moral yang pernah menimpa.karakter merupakan cerminan dari
kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku.
Pendidikan
karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran
tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan
karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang
bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik
berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Karakter yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa
kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa
kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang
bermasalah dimasa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi
muda adalah usaha yang strategis. Oleh karena itu penanaman moral melalui
pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk
membangun bangsa.
Terdapat
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan
santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;
kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
Dasar
pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang
biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia
ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang
dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya
terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari
dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak.
Namun bagi
sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di
atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada
rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu
diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play
group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa
disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di
kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Sebuah buku
yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al,
2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif
kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada
sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor
resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi
pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan
bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai
dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat,
ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen
ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam
kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat
mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak
usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya
para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang
dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks
bebas, dan sebagainya.
Faktor keluarga sangat
berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini
selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai
usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal
dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi social anak dapat dikoreksi dengan
memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama
sejak usia dini.
Sekolah adalah
tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua
lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan
sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah
akan mempengaruhi pembentukan karakternya.
Indonesia belum
mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia
yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata
pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama,
kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah
dengan pendekatan penghafalan (kognitif).
Para siswa
diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan
kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena
orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka
bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak
pernah diperhatikan.
Sehingga apa
yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan
perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu
salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap
melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat
berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral
Seperti halnya
aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara
bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak,
pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan
tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat
diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan
menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak.
Proses sosialisasi
pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada
kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music
dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg,
seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman
adalatingkatan moral yang paling rendah.
Sedangkan
tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman
rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup
sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa
seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk
mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai
tingkata moral tertinggi.
Menurutnya,
bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk
(misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus
membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang
mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan
prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus
berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.
Sistem
pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang
menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk
menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap
manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah
sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas.
Menurut seorang
pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu
insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan
dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya
walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar
dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium,
meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul
dalam proses belajar ini.
Orang tua murid
harus menjadi partner dalam membentuk karakter anak, bahkan mempunyai peran
utama. Sekolah yang menjalankan pendidikan karakter harus mempunyai rencana
yang jelas tentang kegiatan yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar
pembentukan karakter anak dapat terwujud.
BIODATA PENULIS :
NAMA : YESI ARISTINA HAYATI, S.Pd.
PROFESI : GURU SDIT IHSANUL AMAL ALABIO, KAB. HSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar